Helen dan Sukanta – Pidi Baiq

BAB I. Lacheden Javaan

1
Bulan Juni 2001 itu, saya merasa sangat senang bertemu dengan Nyonya Helen di restaurant Lachende Javaan, yaitu sebuah restaurant Indonesia yang cukup populer di Haarlem, Belanda, tepatnya di jalan Frank.

Restauran Lachende Javaan atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya Jawa Ketawa, adalah tempat makan yang menyenangkan. Suasananya cukup intim. Semua hal di sana berasa santai dan tenang. Interiornya memiliki kesan khusus dan dipenuhi oleh aneka macam poster dan foto-foto lama tentang masa kolonial Belanda. Ada juga lukisan dan barang-barang antik kebudayaan Indonesia. Hanya saja kurang tokek dan Komodo.


Makanan di tempat itu benar-benar hebat sebagaimana harusnya sebuah restaurant Indonesia. Ada serundeng, kerupuk udang, nasi kuning, es tjendol, perkedel, sambal goreng, pangsit, ketoprak dan banyak lagi yang lainnya. Makanan hangatnya tediri dari soto ayam, sayor lodeh, daging rendang, dan nasi goreng. Juga ada babi kecap yang tidak boleh saya makan karena saya seorang muslim.

Semuanya otentik dan segar. Semuanya disiapkan dengan baik dan disajikan dengan penuh kekeluargaan. Katanya, itu adalah makanan dengan cita rasa asli khas trdisional di masa Kolonial Belanda.
“Di sini, kita makan sambil belajar sejarah kolonial Belanda pada waktu bersamaan”, kata Frans, pemilik restauran Lachende Javaan itu”
“Masakannya enak, Om”
“Terimakasih”
“Lebih enak kalau gratis”
“Oh begitu”, kata Frans dengan senyum.
“Iya”
“Aku baru tau. Coba kamu traktir aku. Aku ingin tau bagaimana rasanya”
“Kasih dulu aku uangnya”, kata saya dengan senyum di wajah saya. “Nanti aku traktir kamu”
“Itu ditraktir tapi gak enak ha ha ha”

2
Hari itu adalah kali kedua saya mampir ke restauran Lachende Javaan, yaitu di dalam perjalanan pulang setelah berkunjung ke rumah The Tjong King, seorang illustrator buku untuk anak-anak yang tinggal di daerah Haarlem.

Di restauran itulah, secara kebetulan, saya bertemu dengan Nyonya Helen. Kadang-kadang memang, hal seperti itu bisa terjadi begitu saja. Dia menemui saya yang sedang duduk sendiri setelah beres makan soto. Saya langsung menenangkan diri dengan menyadari bahwa saya sedang di Eropa.
“Waar kom jij vandaan? Indonesia? Vietnam?”. Dia bertanya untuk memulai percakapan seperti orang yang hanya ingin mampir untuk menyapa dan menggunakan bahasa Belanda yang artinya: “Kamu dari mana? Indonesia? Vietnaam?”
“Indonesia, Oma”, kujawab. Kemudian dia tersenyum perlahan, dan memperkenalkan dirinya sebagai kebajikan sebenarnya tentang sebuah pertemuan.

Itulah yang terjadi. Saya juga tersenyum dengan cara bagaimana menyambut seseorang yang ingin ngajak bicara.

Saya tahu dia sangat santai dan kemudian duduk di kursi yang ada di depan saya. Dia mengaku bernama Helen. Dia masih tampak cukup baik untuk usianya yang sudah 75 tahun.

Sepertinya dia adalah seorang wanita yang ramah. Samar-samar agak gemuk. Memiliki mata dan rambut cokelat yang dilipat menjadi sanggul di atas kepala. Di lehernya melilit syaal sebagaimana beberapa wanita tua biasanya. Dia menggunakan blus klasik warna putih dan rok panjang warna hitam dengan sepatu datar. Wajahnya memiliki tanda-tanda kecantikan sebagai sisa-sisa di masa lalu.
“Saya senang mendengar dialek bicaramu”, katanya lagi, setelah duduk berhadapan denganku yang terpisah oleh meja. “Kamu tinggal di mana di Indonesia?”
“Saya, di Bandung”
“Oh. Bandung. Kota romantis. Oke?”
“Oma dari mana?”
“Saya? Saya tinggal di Utrecht”
“Oma sendiri?”
“Maaf?”
“Oma sendirian ke sini?”
“Oh. Tidak. Saya bersama dua teman. Ada pertemuan di Haarlem. Cuma saja, mereka ada urusan. Keluar sebentar. Jadi saya hanya menunggu”, jawab Nyonya Helen.

Ketika berbicara, dia selalu memiliki binar di matanya dan melihat saya dengan penuh perhatian atau mengangguk dengan cara yang berarti pada saat giliran saya bicara.
“Tadi. Saya lihat kamu duduk sendiri. Barangkali kamu bisa diajak bicara untuk mengisi waktu. Ternyata kamu baik dan ramah”, katanya. Bahasa Indonesianya terdengar cukup bagus dan baik.
“Bahasa Indonesia Oma lancar sekali”
“Ya, tentu. Saya lahir, saya besar, di Indonesia”.
Saya tidak bisa mengalihkan pandangan dari dirinya. Dia tersenyum untuk membuat saya yakin.
“Oh ya? Waaah”
“Kamu tahu Ciwidey?”, tanya Nyonya Helen.

Tentu saja saya tahu Ciwidey. Sebuah daerah yang selalu diselimuti oleh kabut. Sejauh mata memandang hanya pohon-pohon teh yang sangat luas seperti karpet hijau yang digelar.

Pegunungan di kejauahan dan bukit-bukit yang dekat. Untuk mencapai tempat yang bernama Ciwidey itu, dari kota Bandung, akan membutuhkan waktu sekitar 3 jam kalau tidak macet.
“Ciwidey jauh dari Bandung”, kujawab.
“Iya, Oma tahu. Kamu pernah ke sana? Ke Ciwidey?”
“Satu atau dua kali. Ke tempat pemandian. Apa itu? Cimanggu” “Ya. Cimanggu. Saya dulu lahir dan tinggal di daerah Ciwidey”.
“Ow! Ciwidey?”
“Iya”, jawab Oma tersenyum dengan wajah penuh rasa bangga. “Kamu tahu Ranca Suni?”, tanya Nyonya Helen kemudian.
“Ranca Suni?”, saya balik bertanya karena memang belum pernah mendengar nama itu.
“Di mana itu?”
“Ah, kasian kamu”
Aku tersenyum.
“Itu di Ciwidey juga”, katanya. “Saya lahir di kampung Ranca Suni. Ranca Suni itu bagian dari Ciwidey”
“Oke”
“Ranca Suni juga bagian dari siapa saya”, katanya lagi dengan cepat dan senyuman.

3
Di restauran Lachende Javaan, dengan perasaan nostalgia, kemudian Nyonya Helen bercerita tentang masa lalunya. Dia menceritakan hal-hal tentang dirinya selagi masih di daerah Ranca Suni, Ciwidey.

Memang, ketika kita memiliki kenangan pribadi, kadang-kadang kita merasa ingin membahasnya dengan orang lain. Itu adalah kenangan masa lalunya, tentang hari-hari yang penuh dengan hal-hal keseharian di Hindia Belanda, yang kini bernama Indonesia.

Itu adalah pertemuan pertama saya dengan Nyonya Helen, di mana dia bercerita tentang kisahnya selama tinggal di Ciwidey, tepatnya di daerah yang bernama Ranca Suni itu.

Bagi Nyonya Helen, Ranca Suni adalah sebuah tempat yang cukup memainkan peranan besar ketika dia tumbuh di sana. Ranca Suni selalu ada di dalam pikiran dan kenangannya sampai saat itu. Dan ketika dia sudah tua, di saat harus lebih mengenang ke masa lalu, dia menceritakannya dengan penuh segala hormat.
“Saya masih ingat bau tanah Ranca Suni. Saya masih ingat kabutnya. Saya masih ingat suara kodok dan anginnya yang sangat dingin menembus tembok. Saya masih ingat wajah orang-orang pribumi. Daftar yang mempesona. Ada banyak pilihan yang bisa kita rindukan. Ada lubang kerinduan untuk masa-masa tempo doeloe”
“Hmm”
“Jika matahari bersinar di Belanda, saya langsung merasa melankolis untuk semua yang saya miliki, yang kadang-kadang membuat membuat saya merasa keheningan”, katanya.

Pada dasarnya, saya merasa memiliki percakapan yang baik, tapi waktu berjalan sangat cepat, dan saya harus segera kembali ke Amsterdam karena ada janji bertemu dengan teman untuk menghadiri kegiatan yang ada di sana.

Dua orang teman Nyonya Helen juga sudah datang. Nyonya Helen berharap akan bisa bertemu lagi dengan saya, itulah yang bisa ia katakan sebelum saya berpisah dengannya. Dia mengajakku ke rumahnya di Utrecht.
“Oke. Boleh minta alamatnya?”
Kemudian dia memberi alamat rumahnya, yaitu tak lama setelah dia mengenakan mantelnya.
“Saya mau ngasih tau kamu, bagaimana kehidupan saya waktu itu, di Ranca Suni, seperti yang bisa saya ingat sampai sekarang”, katanya. Dia tersenyum.
“Siap, Oma”

Hari sudah mau malam dan keheningan membaur, meresap di udara.

BAB II. Utrecht

1
Minggu sore itu saya tidak punya hal yang lebih baik untuk dilakukan, dan merasa sedang terbuka untuk mendapat pengalaman baru, jadi saya memutuskan untuk mengunjungi rumah Nyonya Helen di Utrecht.

Tidak terlalu sulit untuk menemukan rumah Nyonya Helen. Itu adalah sebuah flat kecil dengan jendelanya yang luas terbuka menawarkan udara segar.

Saya duduk di sebuah sofa, di ruang tamu yang ada di sebelah kanan, dan itu tampak seperti tempat yang tepat untuk berkumpul. Saya masih ingat warna dan tekstur langit-langit rumahnya sampai hari ini.
“Jullie huis is mooi, Oma”, kataku. Saya mencoba menggunakan bahasa Belanda, artinya: “Rumahmu bagus”
“Dank je”, jawab Nyonya Helen dengan memberi saya senyuman.
“Kamu tinggal sendiri di sini, Oma?”
“Saya bersama saudara saya, tetapi ah, sudah seminggu dia sedang pergi ke Portugis”
“Oke”

Saya melihat, ada banyak foto yang tergantung di ruang tamunya. Semuanya adalah foto-foto lama. Semuanya berbicara tentang masa lalu, sebagai dokumen langka dari realitas kehidupan sehari-hari masyarakat Belanda di Indonesia. Di dalam foto itu Nyonya Helen masih seorang gadis kecil yang polos.

2
Setelah itu, kami bersama percakapan yang sangat khusus, di mana emosi langsung terasa di ruang tamu. Lonceng kecil yang menggantung di depan pintu, menggemerincing ditiup angin.
“Saya rindu kebun teh, seperti di foto ini”, katanya sambil menunjuk sebuah foto waktu dia masih tinggal di Ranca Suni. “Seakan Ranca Suni selalu menghisapku dari jarak jauh”
“Ini Oma?”, kutanya sambil memandang sebuah foto di mana Helen kecil sedang duduk di atas sepeda kumbang bersama ayahnya.
“Iya. Itu saya. Cantik ya?”
“Cantik, Oma”
“Ini, orang yang megang sepeda, ayah saya. Namanya Bijkman. Dulu, di Rancasuni, oleh orang-orang dipanggil Tuan Bijkman”
“Hmmm”
“Kalau saya mendengar orang berbicara tentang Indonesia dan semua hal tentang yang ada di sana, saya bangga bahwa saya berasal dari sana”.
“Oke”
“Tidak berarti saya tidak mencintai Belanda, itu pasti saya lakukan! Hanya kemudian saya menemukan hati saya merah putih”
“Iya, Oma”

Kata-kata bijak yang utuh dari seorang wanita tua yang cerdas. Baginya seolah-olah rasa Rindu itu adalah nyata, terletak di antara Ranca Suni dan Utrecht!
“Karena Allah, tanah itu begitu indah!”, kata Nyonya Helen tersenyum.“Semuanya berbeda sekarang”, kata Nyonya Helen lagi.
“Iya, Oma”
“Mudah-mudahan saya masih bisa menggambarkan dengan jelas tentang semua yang saya alami dulu”.

3
Nyonya Helen ingin bercerita tentang masa lalunya. Dia ingin bercerita tentang setiap kejadian, baik cerita yang dia dengar atau situasi yang dia alami sendiri. Selalu ada hubungan dengan penjelasan saat itu.
”Biar kamu tau bagaimana rasanya”.

Dalam cerita-cerita ini, untuk beberapa nama orang yang terlibat, dia hanya ingin menggunakan nama samaran. Dia juga, dengan alasan pribadi, tidak bersedia mencantumkan nama keluarganya dan untuk itu dia minta maaf.

Baiklah, mari kita simak ceritanya:

BAB III. Ranca Suni

1
Saya ini lahir di daerah Ranca Suni, Ciwidey tahun 1926 dan diberi nama baptis Hellen.

Saya tumbuh di Ranca Suni sebagai seorang gadis Belanda yang harus beradaptasi untuk merasa senang dengan lingkungan yang tak bisa dihindari.

Saya lahir dari keluarga kelas menengah ke atas yang mampu memenuhi kebutuhan untuk kehidupan yang lebih baik, bahkan beberapa di antaranya adalah saya anggap berupa kemewahan. Ada radio, gramofon, banyak buku dan banyak mainan.

2
Ayah saya adalah juragan perkebunan teh yang ada di Ranca Suni. Dia bernama Bijkman, seorang yang agak berminyak dengan kulit berwarna kemerahan dan selalu mengenakan kemeja putih dengan kantong besar dan celana. Di atas meja tulis besarnya, dia telah memainkan peran penting perkembangan kebun teh di daerah sekitar Ranca Suni.

Ayah saya sangat serius. Benar-benar seorang pria yang kaku. Saya selalu melihat dia sedang menulis di mejanya. Seperti orang yang diam-diam sedang menikmati dirinya sendiri. Tapi sudahlah, dia pikir mungkin itu yang terbaik.

Sedangkan ibuku bernama Maria. Dia lahir di Amsterdam tahun 1907. Dia memiliki karakter yang berlawanan dengan Ayah. Dia adalah orang yang cukup ceria. Sepertinya dia tidak punya hobi yang khusus atau memiliki kepentingan tertentu untuk apa pun.

Dia hanya suka membuat kue dan menari dengan saya di waktu senggang dengan diiringi oleh musik piringan hitam. Dia suka menyanyi lagu “Burung Kakatua”, “Nina Bobok” atau “Terang Bulan”, yaitu lagu yang bercerita tentang bulan purnama yang bersinar di sungai. Hal itu biasanya dia lakukan untuk mengantar saya tidur siang atau malam.

3
Kadang-kadang Mama, begitu saya menyebutnya, sering membuat saya berguling di sofa, sementara tangannya menggelitik pinggang saya.
“Stop!”. Saya teriak sambil ketawa dan kemudian lari untuk berlindung di balik badan Bi Sitih, babu setia kami, yang tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya tersenyum melihat tingkah laku kami.
“Bi Sitih, kamu lihat Hellen?”, tanya Mama pura-pura tidak tahu kalau saya sembunyi di balik Bi Sitih.
“Jangan Mama kasih tahu, Bi Sitih”, kata saya teriak ke Bi Sitih.
“Jangan bicara!”, jawab Bi Sitih dengan sedikit ketawa. “Nanti Mama tahu”
“Bi Sitih, niet praten!”, kata saya (Bi Sitih, jangan ngomong!)
“Nee…”, jawab Bi Sitih. Bi Sitih mengenal sedikit bahasa Belanda dan juga ingin bisa berbicara lancar dalam bahasa tersebut.
“Heeft Mama kan praten??”, tanya Mama. (Apakah Mama boleh ngomong?)
“Nee!!” saya jawab dan itu membuat Mama dan Bi Sitih ketawa.

4
Bi Sitih yang saya maksud adalah yang dulu dikenal sebagai Babu. Saya memang diasuh oleh Bi Sitih. Dia penuh kasih sayang. Bi Sitih keturunan pribumi berasal dari desa terdekat. Saat itu dia masih muda, tenang, lembut dan penuh perhatian.

Waktu masih kecil, saya selalu digendong di pinggulnya. Dia sudah menjadi bagian dari keluarga. Dia benar-benar lebih sebagai orang kepercayaan keluarga daripada sebagai seorang pembantu.

Mayoritas anak-anak kulit putih yang lahir di jaman Hindia Belanda akan selalu memiliki satu babu. Maksud saya selama orang tuanya itu mampu untuk membayar.

Anak-anak Belanda akan lebih dekat dengan babu sampai mereka tumbuh remaja karena mereka relatif lebih memiliki banyak waktu yang dihabiskan bersama anak-anak. Merawat dan mengawasi kami setiap hari dan dia bahkan akan tidur di samping tempat tidur kami.

Kalau saya ingin pergi bermain ke tempat lain tanpa pengawasan Bi Sitih, saya bisa melakukannya dalam diam, dan sebetulnya selalu ada kesempatan untuk bisa menyelinap keluar.

Sekali waktu saya pernah mengajak Bi Sitih bermain petak umpet, dulu namanya Ucing-Ucingan. Saya meminta Bi Sitih yang jadi Kucing, kemudian Bi Sitih menutup matanya. Pada saat dia sudah melakukan, saya lari menemui kawan-kawan Ranca Suni saya.

Menyadari saya hilang, tentu saja Bi Sitih terkejut dan panik. Terbayang olehnya bagaimana orangtua saya akan menghukum Bi Sitih seandainya ada terjadi apa-apa dengan saya. Bi Sitih mencari saya kemana-mana dan akhirnya berhasil ia temukan sedang nongkrong di tepi sungai bersama anaka-anak Ranca Suni. Bi Sitih berada dalam kondisi antara senang dan nafas terengah-engah.
“Non….”

Sejak itu Bi Sitih tidak mau diajak lagi main ucing-ucingan. Tetapi itulah yang terjadi. Bi Sitih benar-benar begitu baik. Dia hanya akan sedang duduk menunggu ketika saya sedang bermain. Dia akan membuat masakan yang paling lezat dan jamu untuk kesehatan atau membuat obat seperti rempah-rempah yang ditumbuk menjadi halus.

Kalau dipikir-pikir, sebetulnya ibu saya lebih toleran daripada Bi Sitih, yang bisa memahami bahwa kami tidak tinggal di Eropa sana dan harus bisa beradaptasi dengan masyarakat termasuk dengan nyamuk, kodok, tokek, cacing, siput dan lain-lain. Tapi pada dasarnya apa yang dilarang oleh Bi Sitih adalah karena dia tahu dia harus menjalankan tugas menjaga saya, dia takut kepada ibu saya seandainya ada hal buruk menimpa diri saya.
“Nanti Mama marah, Non”
“Dus..laat mama het niet weten. Jadi jangan biarkan Mami tau”, Saya menggerutu.
“Iya, Non”

Kenyataannya, Bi Sitih tahu saya lebih galak dari ibu dan oleh karena itu dia sering merasa bingung harus bagaimana. kasihan dia itu.

Bi Sitih kadang-kadang bercerita tentang hantu yang bersembunyi di hutan. Atau tentang sungai yang mengalirkan getah yang akan membuat lengket anak-anak. Atau tentang karuhun di atas gunung yang akan menangkap anak-anak nakal. Sebagai seorang anak saya takut itu.

Bi Sitih tinggal bersama kami, hanya seminggu sekali pulang ke rumahnya. Dia tinggal di bangunan belakang di luar gudang. Bangunan itu memang dibangun untuk para pelayan. Saya suka melihat mereka menggosok gigi di sana dengan jari telunjuk menggunakan batu merah yang ditumbuk.

5
Biar bagaimanapun, Ayah dan ibu saya adalah dua orang yang sangat penting di masa muda saya, karena mereka selalu ada dan sangat dekat dengan saya.

Sayang sekali, saya tidak bisa meceritakan tentang kakek nenek saya. Jujur saja, saya tidak begitu banyak tahu tentang itu. Ayah dan ibu jarang berbicara mengenai masa lalunya.

Sebetulnya saya ingin tahu banyak soal mereka, tapi mereka hanya bilang Ayah ibunya, yaitu nenek dan kakek saya, tinggal di Amsterdam dan sudah meninggal dunia. Kemudian sejak itu, saya menyadari bahwa saya sudah tidak punya kakek dan nenek.

6
Di Ranca Suni, kami tinggal di sebuah rumah besar. Rumah kami memiliki latar belakang gunung Malabar dan gunung Halimun yang sangat indah, yaitu di sebuah kawasan perkebunan teh dengan suhu yang sangat sejuk sekali, yaitu berkisar 17 sampai 26 derajat dan bisa berubah menjadi sangat dingin sekali di malam hari.

Ranca Suni sendiri adalah sebuah kampung yang sunyi. Sejauh mata memandang ke arah lereng gunung Malabar, terhampar luas pohon teh. Warnanya hijau kekuningan yang tumbuh berundak karena mengikuti kontur tanah yang ada.

Di tepian pohon teh itu terdapat beberapa air terjun kecil bertingkat, mengalirkan air yang bersumber dari gunung dan bening. Langit yang selalu nampak kelabu membentang di atasnya.

Setiap pagi atau sore, kami memiliki kabut putih, yang membungkus pohon-pohon teh itu, pucuk-pucuk hijau daun itu, pohon-pohon kai dan pohon-pohon pinus, juga membasahi jalanan yang berkelok di sana.

Pada waktu-waktu tertentu, kabut itu akan turun cukup tebal sehingga jarak pandang bisa hanya 1-2 meter saja, kemudian tidak ada yang bisa kita lihat kecuali hanya putih semuanya.

Meskipun langitnya selalu berada di dalam keadaan mendung, tapi adakalanya kami memiliki langit yang cukup bagus dengan berbagai warna campuran di udara yang ditinggalkan matahari.

Saya benar-benar menikmatinya, kadang-kadang dengan duduk di teras rumahku sambil memandang ke arah Situ Patenggang, yaitu danau cantik di tengah pemandangan yang sunyi, yang sepi dan diam.

7
Rumah saya berada di atas bukit yang hijau, di mana satu rumah dengan rumah lainnya memiliki jarak yang agak berjauhan.

Barangsiapa yang berdiri di halaman rumah saya, akan bisa melihat gunung Sepuh, Gunung Tambang Guruyung, Gunung Masigit dan bedeng-bedeng di lembah yang tidak jauh dari rumah saya. Bedeng-bedeng itu ditempati oleh warga pribumi yang disediakan oleh pihak pengusaha perkebunan untuk menjadi tempat tinggal karyawan perusahaan.

Begitu baik bahwa hampir semua bedeng-bedeng itu diurus untuk ditambahkan dengan beberapa bunga di halaman depannya. Nampak manis sekali, warnanya merah, ada juga warna lainnya, yang selalu akan sesuai dengan kabut yang suka turun setiap pagi dan petang.

8
Cuaca di Ranca Suni sangat dingin, apalagi kalau malam. Kalau tidur, harus selalu menggunakan selimut. Di dalam memori saya masih bisa saya rasakan selimutnya bau kamper. Baunya bercampur dengan udara pegunungan. Itu adalah yang bisa saya kenang selama masa-masa masih tinggal di sana, yaitu antara tahun 1926 sampai 1943.

Di masa itu, hampir segala sesuatu di rumah saya selalu dirundung kesunyian. Saya biasa duduk di sofa dekat jendela dengan buku dan susu murni. Hal itu sering kerasa seolah-olah saya benar-benar sedang menyerah kepada waktu.

Apapun itu, saya ingin mendapatkan diriku, bahkan dalam tahapan paling klise, yang mungkin bisa kulakukan hanya untuk merasa hidup. Setidaknya itu yang saya pikirkan.

BAB IV. Anak-Anak Ranca Suni

1
Anak-anak Ranca Suni adalah anak-anak karyawan perusahaan perkebunan Ranca Suni. Mereka biasa main ke daerah atas, yaitu deket Gedung Mess, atau mandi di daerah bendungan sungai pada saat siang hari, yaitu di daerah yang dulu disebut Tangsi. Itu adalah sungai yang jernih dan dingin sekali.

Di sungai itu selalu ada perempuan mencuci pakaian atau kerbau yang sedang dimandikan.
Tidak Cuma warga pribumi yang mandi di sungai itu, warga Belanda juga sering pada mandi di sana. Beberapa di antara warga Belanda ada yang ikut bergabung mandi dengan mereka.

Pada saat-saat tertentu, saya sering melihat anak-anak Ranca Suni bermain layangan di halaman rumah, main panggal, main kincir atau main bola dengan bolanya yang terbuat dari kulit jeruk. Sebagai anak-anak, kami diizinkan bermain dengan gerobak di rel pabrik perusahaan.

Bagi mereka yang punya peternakan domba atau kerbau, biasanya akan ngarit, atau nyambit rumput ke daerah Rancabali. Di jaman saya belum ada Pabrik Rancabali yang kamu katakan itu. Pabrik Rancabali konon dibangun sekitar tahun 1975.

2
Selalu ada ruang untuk bermain. Anak-anak di daerah Ranca Suni selalu tampak begitu hidup, begitu menarik. Saya tidak bisa menjelaskan dengan detail. Itu adalah saat yang menyenangkan. Sumber kesenangan yang besar.

Saya masih ingat nama makanan di sana. Ada yang dinamakan Pilus. Itu sejenis kerupuk manis berbentuk kubus dan digantung pada sepotong bamboo yang bisa dikalungkan. Rasanya manis dengan aroma yang khas. Saya membelinya dengan harga sekian sen di sebuah warung yang ada di lokasi bedeng pemetik teh. Itu adalah warung tempat membeli kebutuhan sehari-hari warga di sana. Sesekali saya datang bersama Bi Sitih dengan rasa gembira untuk datang ke wilayah wargapribumi yang akrab.

3
Kalau di hari minggu, kami warga Belanda, sering memanfaatkannya untuk liburan ke Kawah Putih, yaitu sebuah danau yang terbentuk akibat dari letusan Gunung Patuha.

Masih bisa saya ingat dinding-dinding bukit yang mengelilinginya. Cabang-cabang ranting pohon yang mati. Sangat bagus untuk dilihat. Sedangkan Situ Patenggang yang kamu katakan itu, jaman saya belum ada. Sepertinya Situ Patenggang itu adalah situ buatan. Saya hanya tahu sedikit soal itu.

Atau pergi ke pasar Ciwidey. Atau ke Bandung menggunakan kereta. Stasiun keretanya di daerah Ciwidey. Cukup jauh dari kampung Ranca Suni. Untuk mencapai stasiun itu kami harus melewati daerah Rancasuni Kadempet, Bayongbong, Ranca Bali, Ranca Walini, Baru tunggul, Singapel, hanjuang beureum, datar puspa, babakan jampang, Cilestari, Cikaryo, Cikembang, Arca, Panundaan, Tanjakan Panjang, Sukasari dan sampailah di tujuan.

Melewati daerah-daerah itu, jaman dulu, adalah daerah yang sangat sepi. Betul-betul sangat sepi. Setiap kami melalui jalan itu, seolah-olah monyet-monyet di pepohonan itu sedang menonton. Kami menempuhnya dengan menggunakan mobil wilis atau Ford kuno.

Sedangkan beberapa orang pribumi ada yang menyempatkan untuk main ke kampung mereka, di mana keluarga besarnya tinggal. Mereka menyebutnya dengan istilah Nganjang. Salah satunya ke kampung Cipelah, Cinumbra, Suka Ati. Konon, mereka harus berjalan kaki sampai menempuh sehari semalem. Pada saat itu belum ada kendaraan angkutan umum.

4
Setiap malam minggu sering ada hiburan yang diadakan di Pasar. Tempat itu memang biasa disebut Pasar. Lokasinya di daerah atas, atau daerah tonggoh.

Di sana sering diadakan pagelaran reog, silat, calung atau sandiwara. Kalau sandiwara, sebisa yang saya ingat pemimpinnya adalah Pak Sersan, dia adalah anggota keamanan yang biasa disebut Waker. Selain Pak Sersan, saya mendengar juga ada yang disebut Pak Daman, dia adalah seorang dalang kebanggaan Ranca Suni.

Mereka memang butuh hiburan, untuk refreshing setelah selama seminggu bekerja terus di kebun. Mereka bekerja dari sejak mulai jam 6 pagi sampai jam 6 sore, setelah itu biasanya langsung tidur kelelahan. Mereka bekerja setiap hari, kecuali kalau ada turun hujan, mereka akan berhenti dan dianggap libur.

BAB V. Sekolah

1
Saya sekolah di sekolah yang sama dengan warga pribumi. Saya melihat sebagian besar anak-anak pribumi berjalan dengan tanpa alas kaki, termasuk ke sekolah.

Pada umumnya kami mengenakan pakaian yang biasa disebut Sete, atau selevel kain Famatex. Anak perempuan pribumi biasanya menggunakan kebaya. Saya memakai rok lebar warna putih dengan lipatan yang kaku.

Kami sekolah di daerah yang disebut Babakan. Untuk mencapai sekolah itu, kami harus menempuh perjalanan sejauh 3 kilometer, menaiki bukit dan menyusuri jalan Cinumbra. Lokasi sekolahnya di daerah Indra Giri. Murid-murid ada yang datang dari Ranca Suni, Indra Giri, Cinumbra, dan Suka Ati.

Sekolah itu, dengan sendirinya menjadi tempat pertemuan antara kami, warga Belanda dengan mereka yang adalah warga Pribumi.

Saya selalu bisa mengandalkan sambutan murah hati mereka. Saya menjamin bahwa hal itu mereka lakukan bukan disebabkan oleh karena kami selalu memiliki permen.

2
Saya dibuat untuk berbicara menggunakan bahasa mereka. Menurut saya bahasa Indonesia adalah bahasa yang mudah untuk dipelajari.

Seiring waktu saya belajar sedikit demi sedikit sehingga akhirnya bisa berkomunikasi dengan penduduk menggunakan bahasa Indonesia.

Tak ada pemisahan antara warga Belanda dengan warga pribumi, kami di satu kelas yang sama. Bahkan saya hampir tidak menyadari bahwa saya adalah seorang anak Belanda. Belanda telah hilang dalam bentuk surga di Rancasuni.

Sering saya hanya merasa bahwa saya adalah warga Ranca Suni. Apa arti penjajah, jika ada orang yang mengatakan hal itu kepada saya, saat itu saya benar-benar tidak akan memahaminya.

BAB VI. Pabrik

1
Pabrik yang ada di Ranca Suni, adalah pabrik milik ayah saya, yang mengolah semua teh yang dipetik dari perkebunan teh Rancasuni dan semua teh yang dikirim dari Suka Ati. Luas perkebunan teh Ranca Suni sendiri, luasnya kira-kira 12 hektar.

Kalau kamu ke sana, ke jaman saya dulu, kamu akan tidak asing lagi dengan nama-nama Tuan Alen, Tuan Hengki, Tuang Resing, Tuan Adrian, yang adalah ayah saya. Mereka semua biasa dipanggil Juragan.

Ada yang namanya Tuan Mark, waktu itu dia bekerja sebagai kepala Administrasi atau yang biasa disebut ADM. Kemana-mana selalu naik kuda. Sedangkan wakil kepala bagian selalu menggunakan mobil yang biasa sisebut Willis.

Pabrik di Rancasuni punya banyak karyawan, di antaranya ada yang kerja di bagian teknisi, yaitu orang yang bertugas mengurus masalah teknis mesin pengolahan.

Ada juga buruh Pengolahan, mereka bekerja di pabrik bagian mengolah teh. Ada juga yang kerja sebagai Pangramon, atau Hapen, yang kerjanya di bagain penyemprotan, atau yang biasa disebut ngahako.

Mereka biasanya bekerja dengan menggunakan mobil yang biasa disebut Kormik. Sedangkan yang disebut Juru Serat atau Juru Tulis, kerjanya ya nyatat data-data adminstrasi.

Ada orang yang disebut buruh petik. Dia adalah yang bekerja di kebun untuk memetik pucuk teh. Ada yang khas dari buruh pemetik teh, yaitu jari tengah dan jempol tangannya nya seperti gergaji, kasar bergerigi, karena biasa dipake untuk memetik teh nyaris setiap hari.

Mereka semuanya bekerja di bawah pantauan orang yang biasa disebut Mandor Besar. Sedangkan Mandor Kecil hanya memimpin karyawan di lapangan. pabrik teh saja.

Ayahku biasa mengontrol perusahaan dengan menggunakan sepeda kumbang. Biasanya menggunakan stelan dari bahan belacu warna putih dan bertopi. Sebanarnya gagah dia itu.

kayaknya bersambung…

Sumber : Pidi Baiq

Leave a Comment