Baca Novel : Ancika, Dia yang Bersamaku Tahun 1995 – Pidi Baiq


Prolog

Kisah yang akan saya bagikan ini dimulai dari masa remaja saya, 24 tahun yang lalu. Ini bukan cerita yang luar biasa, tapi merupakan kisah nyata tentang saya, yang saya alami secara langsung bersama seorang laki-laki bernama Dilan. Itu adalah waktu dan kenangan saat-saat manis pahit dari masa lalu kami berdua. Dan sebetulnya cerita ini juga tentang bagaimana saya menemukan diri saya sendiri.

Saya masih berusia 17 tahun ketika semuanya terjadi, masih seorang anak SMA biasa yang tidak pernah menjadi bagian dari kepungurusan OSIS. Sementara Dilan sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi yang ada di Bandung. Dia memiliki sepeda motor CB, dan selalu mengenakan jaket US-Army atau jaket jeans dengan bendera Amerika Serikat yang dipasang terbalik di bahunya, entah apa maksudnya, saya tidak mengerti, sama seperti saya tidak mengerti apa-apa tentang dia.

Seluruh penampilannya memancarkan diri sebagai seorang berandalan yang sudah bertahun-tahun tidak praktik dan kabarnya dia adalah mantan panglima tempur geng motor. Itu fakta. Kelak saya tahu dia memiliki luka tusukan di tangan kirinya sebagai akibat perkelahian yang dia lakukan di masa SMA dan juga memiliki bekas luka tusukan pada bagian perutnya yang telah menyebabkan dia koma pada suatu hari di masa lalu.

Pada awalnya seperti itu, tetapi ketika saya mulai bertemu lagi dengannya, melalui beberapa peristiwa yang terjadi secara kebetulan, segalanya berubah. Saya tahu apa yang terjadi, dan mulai menyadari beberapa hal baru tentang dia, ternyata dia menyenangkan. Tidak pernah sarkastik, malah justru sebaliknya, dia bisa mengubah setiap kejadian, situasi, atau keadaan menjadi humor yang sehat, yang selalu bisa membuat saya tertawa di antara soal-soal Fisika. Pokoknya kalau sudah belajar bersamanya, Matematika pun terasa menjadi lebih ringan.

Begitulah sifat aslinya, juga di dalam bergaul bersama teman-temannya. Kejenakaan dan ucapan cerdasnya yang cepat benar-benar mengubah pikiran-pikiran saya, dan meruntuhkan beberapa prinsip saya dengan ketentuan baru bahwa caranya yang aneh itu ternyata menghibur. Sama sekali tidak menjadi pengganggu. Saya anggap ini sebagai pengakuan yang tidak pernah saya sadari sebelumnya.

Dan akhirnya hubungan kami pun berkembang. Secara bertahap saya dan Dilan tumbuh menjadi lebih dekat, bahkan dia sudah dianggap menjadi seperti bagian dari anggota keluarga saya. Dia sering datang ke rumah dan membantu saya mengerjakan tugas sekolah di ruang tamu, bersama aroma hot lemon tea dan lampu gantung motif kelopak bunga. Dan Dilanlah orang pertama kali yang saya pikirkan ketika saya mendapatkan PR dari guru, atau mendapat nilai ulangan harian.

Semua hal dari dirinya, benar-benar membuat saya terpikat dan menumbuhkan beberapa perasaan yang cukup serius di dalam diri saya. Saya kemudian merasa mencitainya di luar kendali saya, karena sejujurnya saya ini bukan orang yang mudah jatuh cinta. Tapi mungkin memang begitulah rasa cinta, sangat misteri, di mana kata orang, Sains akan kewalahan menjelaskannya dan Matematika pun tak akan mampu memprediksinya.

Kira-kira seperti itulah ringkasannya. Sekarang, sebelum saya menceritakan semuanya, rasanya akan lebih afdal jika kamu mengenal lebih dulu siapa saya, akan lebih paham kalau kamu mengetahui lebih dulu bagaimana latar belakang saya dan detail-detail duniawi lainnya. Saya pikir, itu harus keluar cukup awal. Bukan berarti penting, tetapi barangkali bisa membuat cerita menjadi kuat.

1. Saya

1

Jadi, baiklah, kalau begitu. Izinkan saya memperkenalkan diri saya.

Nama saya Ancika Mehrunisa Rabu. Normal dan suka durian. Saya berjenis kelamin perempuan dan tidak ada yang istimewa dari saya. Tapi, tidak apa-apa. Lagi pula, saya merasa tidak harus menjadi seseorang yang istimewa. Atau, setidaknya itulah yang saya pikirkan.

Saya sering mengikuti kepribadian yang alami bagi saya, atau semacam mengikuti apa pun yang terlintas di dalam pikiran saya, seperti diam-diam pergi ke salon sendirian dan memotong rambut saya sangat pendek waktu SMP. Itu tidak seperti yang ibu saya inginkan. Dia selalu terobsesi melihat saya berambut panjang seperti yang dia miliki.

Sepertinya dia sedih, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Sejujurnya saya juga ikut sedih, karena ibu saya adalah sahabat saya. Seseorang yang sangat saya cintai. Dia sangat luar biasa. Saya sangat bangga kepadanya, tapi tetap saja saya lebih suka rambut pendek. Hal itu ada hubungannya dengan saya ingin menjadi praktis. Kalau saya harus buru-buru ke sekolah, misalnya, saya tidak perlu lagi harus menyisir rambut. Atau, kalau saya berantem, saya tidak perlu khawatir lawan saya akan menarik rambut saya. Ya, begitulah kira-kira. Buat saya, mengapa harus repot-repot memiliki rambut panjang, kalau itu hanya akan mengganggu.

Selain urusan rambut, sejak saya masih remaja, saya tidak pernah benar-benar mengaitkan diri saya dengan harus menjadi seorang perempuan sejati. Saya tidak pernah memakai riasan, saya juga tidak suka anting-anting lucu. Ide saya berdandan juga cuma memakai kaos, kemeja laki-laki, celana, dan jaket jeans. Atau hoodies, dengan topi dan sepatu kets. Pakaian seperti itu mungkin tidak cocok buat saya, tapi setidaknya bisa membuat saya menjadi diri saya sendiri.

Jujur, sebetulnya saya lebih menikmati beberapa bagian menjadi laki-laki, seperti memanjat pohon, misalnya, atau bermain sepak bola bersama kawan-kawan sebaya waktu saya masih kecil. Saya juga lebih menyukai Dinosaurus daripada Putri Duyung. Saya lebih suka main layang-layang, dan ingin bisa bermain skateboard. Saya tidak suka bermain bekel. Saya tidak akan menangis jika itu sesuatu yang biasa saja. Dan saya lebih mudah berteman dengan sekelompok pria daripada perempuan, meskipun saya memiliki beberapa teman wanita yang sangat dekat dengan saya.

Saya tidak tahu mengapa. Tapi, saya tidak pernah menganggap saya tomboi. Saya masih melihat diri saya sebagai seorang perempuan. Saya masih melakukan banyak hal yang sifatnya feminin. Saya masih memasak, masih bersih-bersih, dan sesekali memakai gaun kalau harus menghadiri acara-acara formal.

Sejujurnya, saya senang menjadi wanita, tetapi di dalam pikiran saya, saya tidak suka wanita yang lemah dan tunduk. Saya lebih suka pada wanita yang tangguh, yang bisa membela dirinya, baik secara fisik maupun di dalam percakapan.

Saya suka pada wanita yang punya kepribadian kuat, termasuk menentang dominasi daripada harus memilih tunduk. Saya suka pada wanita yang bisa membela dirinya sendiri, yang tidak akan tinggal diam kalau menghadapi penyalahgunaan kekuasaan. Saya suka pada wanita yang selalu mencari lebih banyak informasi untuk memperbaiki hidupnya dan mempertajam pikirannya.

Ini bukan berarti wanita harus bisa menaklukkan. Ini bukan berarti harus menjadi wanita yang menjengkelkan, ini tentang hidup bersama yang dapat saling menghormati dan menghargai secara setara tanpa memandang jenis kelamin.

Sepanjang masa kecil saya, saya dapat merasakan bagaimana saya selalu berpikir ingin menjadi wanita seperti itu. Kemudian yang saya temukan tentang apa artinya menjadi wanita kuat adalah, saya menampar si Ugon waktu SD.

Saya melakukannya karena dia sudah berani menarik rambut saya dari belakang. Saya tidak terima, dan saya bukan wanita lemah yang akan diam saja kalau diperlakukan seenaknya. Saya akan melawan siapa pun yang berusaha mengganggu saya.

Si Ugon, laki-laki itu, menangis. Dia mengancam akan melapor kepada bapaknya yang tidak lain adalah tentara. Tapi saya tidak takut, dan menjawab, “Bawa semua keluargamu ke sini! Aku akan melawan seperti serigala.”

Selain si Ugon, ada si Acil. Ini zaman saya SMP. Dia sudah berani mengangkat rok saya dari belakang waktu saya sedang jalan di lorong kelas. Maksud saya, apa yang dia lakukan itu benar-benar kurang ajar. Saya tidak bisa mengatakan apakah waktu itu saya terkejut atau bagaimana, tetapi saya langsung memukulnya.

Acil melawan, akhirnya kami berkelahi di dekat pintu kelas sampai wali kelas datang, membubarkan perkelahian. Saya dipanggil kepala sekolah, dan saya bilang kepadanya bahwa apa yang sudah dilakukan si Acil itu tidak sopan. Pelecehan. Dia pantas mendapatkan apa yang harus dia dapatkan.

“Emang apa yang Acil lakukan?” tanya kepala sekolah.

“Mengangkat rok saya dari belakang! Terus dia lari teriak-teriak, ngasih tau warna celana dalam saya!”

“Astagfirullâhal’azhîm!”

Saya tahu, saya bereaksi berlebihan, tapi saya tidak tahu apakah itu karena terlalu memikirkan ingin menjadi wanita tangguh atau karena terlalu memikirkan situasinya. Atau mungkin pada dasarnya saya hanya benar-benar ingin memberinya pelajaran meskipun sebetulnya saya tidak pernah ingin mencari pertengkaran.

Saya tidak suka ide menyakiti orang lain. Saya suka perdamaian. Saya ingin baik-baik saja. Saya juga berusaha selalu bisa bersikap ramah kepada semua orang, selama orang itu tidak mengganggu saya. Saya bahkan dengan senang hati akan memberi uang saku kepada saudara saya yang membutuhkan.

Selain itu, saya juga berusaha menjadi murid yang baik. Saya rajin sekolah, tidak pernah bolos, dan punya motivasi yang tinggi untuk belajar, bahkan selalu belajar cukup keras hanya untuk meningkatkan nilai saya di sekolah. Saya juga mematuhi tata tertib sekolah, saya juga bayar SPP tepat waktu jika itu dianggap baik, saya juga menghormati guru, orangtua, dan teman-teman.

Saya juga suka membaca, jika ini bisa dianggap baik, dan menghabiskan sebagian besar waktu luang dengan membaca. Tetapi, bukan berarti saya tidak menikmati berbagai bentuk hiburan, semacam mendengarkan musik atau menonton televisi, dan saya bisa menghabiskan sebagian besar waktu dengan duduk di sofa menonton Tom and Jerry dan semacamnya, hanya saja, sekali lagi, saya lebih suka membaca. Kalau sudah membaca, rasanya seperti sedang melakukan kegiatan yang menyenangkan untuk saya lakukan. Saya kira, itu lebih baik karena saya menjadi tidak perlu berbicara dengan siapa pun.

Saya sudah menjadi pembaca yang cukup rajin sepanjang masa kecil saya. Saya tidak tahu mengapa. Saya kira itu karena saya suka ilmu pengetahuan. Orangtua saya mendukung saya dengan selalu membeli buku untuk saya, sehingga kamar saya menjadi penuh oleh buku.

Saya suka buku apa saja, termasuk buku fantasi, tetapi saya lebih suka membaca buku yang memiliki lebih banyak informasi, terutama tentang Sains, Biologi, Fisika, Matematika, Kimia, dan lain-lain, yang memiliki pengaruh terhadap masyarakat dan semacamnya.

Setidaknya itulah yang saya pikirkan tentang diri saya sendiri.

2

Tahun 1994, saya mulai sekolah di salah satu SMA yang ada di daerah Kiaracondong. Jaraknya cukup jauh dari rumah, kira-kira setengah jam perjalanan dengan menggunakan mobil angkutan kota (angkot).

SMA saya adalah SMA favorit, lokasinya kira-kira dua ratus meter dari Jalan Raya Kiaracondong. Sehingga oleh karena itu, setelah saya turun dari angkot, saya masih harus berjalan kaki untuk bisa mencapainya. Tapi kalau kebetulan sedang hujan, saya akan memilih naik becak sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa siswa lainnya.

Ada juga, sih, yang nekat memutuskan untuk berlari, itu dramatis, saya melihatnya seperti mereka sedang berusaha mengejar masa depannya meskipun harus menembus hujan dan badai. Dan yang kemudian mereka dapatkan adalah baju seragamnya menjadi basah kuyup. Kasihan sekali.

Saya tahu, sungguh keterlaluan bagi seorang anak harus terus berada di sekolah selama delapan jam setiap hari. Tapi saya menyerahkan diri saya sepenuhnya pada kebijaksanaan Kementerian Pendidikan Nasional dan siap akan fokus belajar untuk meraih ranking pertama di kelas, sebagaimana yang selama ini saya peroleh.

Lagi pula, sekolah itu, menurut saya, menyenangkan. Apalagi di sana, saya memiliki banyak teman. Saya sering mengobrol dengan mereka, baik saat makan di kantin maupun sedang berkumpul di tempat lain.

Saya punya lingkaran teman yang baik di sekolah, mungkin sekitar 5 atau 10 orang yang bergaul dengan saya, salah satunya adalah Indri Artatih, orang Sekelimus, yang sudah berteman dengan saya sejak SMP. Saya lebih menganggap Indri sebagai teman sebangku daripada sebagai saingan di dalam meraih ranking pertama di kelas.

Indri selalu menjadi bagian dari pulang bersama saya naik angkot. Atau, berkeliaran ke tempat-tempat nongkrong, hanya untuk mengobrol tentang banyak hal yang kami sukai, sampai waktu dan uang habis.

Itulah Indri, si gadis manis dengan rambut panjang terurai. Persahabatan saya dengannya adalah persahabatan yang sangat berarti dan memuaskan. Kami sangat tak terpisahkan saat itu. Jadi, tentu saja, saya mengalami banyak hal sama dari karena selalu bersamanya.

Pernah, suatu hari, pada saat saya sedang menunggu angkot di pinggir jalan bersama Indri, saya didatangi oleh seorang laki-laki yang memakai seragam SMA. Dia mengajak saya berkenalan dan mengatakan hal-hal seperti, “Saya sering merhatiin kamu setiap hari.”

“Boleh, gak, kenalan?” tanya dia kemudian.

“Buat apa kenal saya?”

“Ya, biar saya tau kamu.”

“Kan, hanya dua puluh lima rasul yang wajib diketahui,” jawab saya, “Belajar agama, gak?”

Dia tertawa, “Belajar, lah.”

“Namamu siapa?” tanya saya lagi, diucapkan dengan penekanan sehingga membuat dia sedikit tercengang.

“Saya Bono …,” dia menjawab sambil menyingkapkan jaket jeans-nya untuk menunjukkan badge nama yang ada di bagian dada baju seragamnya.

“Oh ….”

Dia memandang saya, “Namamu Cika, ya?”

“Ya, udah, itu aja,” jawab saya. Dan syukurlah, percakapan terputus karena saya dan Indri sudah harus segera naik angkot.

Di angkot, Indri cerita, katanya Bono itu anak nakal. Suka bolos, suka berantem. Malahan pernah ditangkap polisi gara-gara menyerang SMA lain. Saya kira, mungkin maksud Indri, Bono itu bukan tipe anak baik-baik. Tapi, katanya, Bono juga suka mabuk-mabukan dan terlibat di dalam obat-obatan, dan banyak hal mengerikan lainnya yang telah dia lakukan.

Ketika Indri mengatakannya, sejujurnya, saya tidak terlalu memikirkannya dengan serius. Saya juga tidak tertarik dengan semua urusan pribadi Bono. Tapi menurut saya, cukup bodoh bagi seorang remaja kalau harus masuk ke dalam situasi seperti itu, karena sudah sangat jelas akan menghancurkan hidupnya dan akan membuat masa depannya menjadi berantakan.

Kata Indri, pihak sekolah sudah memberi sanksi atas semua perilaku buruknya itu, tapi Bono tidak pernah berubah. Bono malah berhasil merekrut pengikutnya yang makin hari makin banyak dan cukup vokal. Mereka biasanya nongkrong di warung Mang Uja, yaitu sebuah warung makan yang lokasinya ada di antara jalan menuju ke sekolah dan jalan raya utama Kiaracondong.

“Herannya, banyak cewek yang suka, loh …,” kata Indri.

“Masa?” tanya saya, hampir tidak percaya.

“Iya.”

Pernah suatu hari, kira-kira jam dua belas siang, waktu saya mau keluar dari gerbang sekolah bersama Indri, saya melihat ada Bono. Dia memakai jaket jeans dan duduk di atas motornya dengan mesin yang masih hidup, seperti sosok bandit produk Bollywood.

Saya tahu saya tidak boleh buru-buru mengambil kesimpulan bahwa dia jahat. Saya juga mencoba untuk santai, tapi posisi motornya melintang, yang menurut saya menjengkelkan karena menghalangi jalan saya. Itu bukan hal baik untuk dia lakukan. Itu hanya membuat saya diliputi keinginan untuk melemparnya ke tempat sampah. Atau, sesuatu seperti itu.

Saya berhenti, “Punten, saya mau lewat,” kata saya datar, dan merasa tidak perlu memandangnya. Saya hanya menatap bagian roda depan sepeda motornya.

Bono tetap diam, mengabaikan perintah saya. Perilaku semacam itu membuat saya frustrasi, kemudian, sambil mengunyah permen karet, segera saya memandangnya dan berkata, “Kalau enggak minggir, aku tendang!”

Saya tahu terdengar gila, tetapi itu solusi untuk mengatasinya. Dan saya benar-benar akan melakukannya kalau dia masih tidak mengikuti apa yang saya katakan.

Tapi untunglah, dia segera memundurkan sepeda motornya sambil bicara, “Mau dianter pulang, gak?”

“Nanti aja,” jawab saya sambil terus berjalan bareng Indri, meskipun sebetulnya saya tidak ingin menanggapinya sama sekali.

“Kapan?” tanya Bono, ketika sepeda motornya sudah mulai jalan melambat di samping saya.

“Tahun dua ribu sembilan lima!” jawab saya tanpa memandangnya.

Itu membuat dia tertawa meskipun saya tidak bermaksud melucu.

“Ah, tahun segitu mah, kamunya juga udah nenek-nenek!” kata Bono.

“Kamunya juga udah kakek-kakek!” jawab saya langsung, masih tanpa memandangnya.

Bono tertawa lagi, lalu bilang, dengan nada mendesak, “Hayu, mau gak?”

“Saya bilang, nanti, ” jawab saya, masih tanpa memandangnya.

“Jangan nolak rezeki!”

“Saya bukan nolak rezeki, ” jawab saya, “saya nolak Bono!”

Bono tertawa seolah-olah itu lucu baginya, tapi simpanse juga tertawa, sih, meskipun tidak melihat sesuatu yang lucu.

Mungkin pada akhirnya, dia merasa kesal dengan semua yang saya lakukan atau katakan. Percaya atau tidak, akhirnya Bono pergi, “Ya udah!” katanya.

Ya, pergilah! Terserah dia mau kesal atau tidak, saya tidak bertanggung jawab atas perasaannya.

Setelah Bono berlalu, Indri tertawa terbahak-bahak dan saya jadi ikut tertawa juga.

“Kamu berani, ih!” kata Indri.

“Kenapa emang?”

“Dia, kan, geng motor!”

“Gak takut!”

Saya benar-benar tidak takut dengan si Bono, meskipun dia anak geng motor. Di mata saya, anak geng motor itu cuma anak-anak berandalan yang menyedihkan dan bodoh. Pengganggu, tidak punya pikiran, sekaligus juga manusia yang malang.

Saya tentu bersalah sudah menghakimi orang. Maksud saya mungkin tidak semua anak geng motor seperti Bono. Tapi, saya akan melakukan apa yang harus saya lakukan untuk melawannya selama saya benar.

Setelah saya dan Indri sampai di tepi Jalan Kiaracondong, saya mendengar ada orang memanggil nama saya dari warung Mang Uja.

“Cika!”

Saya menoleh sebentar ke arah suara itu dan bisa melihat ada banyak anak berseragam SMA sedang berkumpul di sana.

“Setuju!” kata orang itu melanjutkan, “Tahun dua ribu sembilan lima! Ha ha ha.”

Saya meresponsnya hanya dengan tersenyum, tanpa menoleh.

Malamnya, saya kaget, Bono menelepon saya dan benar-benar menyeramkan pada saat itu terjadi. Bono bilang dia ingin mengajari saya mengendarai sepeda motor, lalu mulai menggoda saya dengan berbagai macam hal yang dia katakan. Pada dasarnya apa-apa yang dia ucapkan terdengar seperti gila, mungkin karena sudah dipengaruhi oleh alkohol atau obat-obatan.

Sejak itu, semuanya berkembang dengan cepat. Bono menjadi sering mendatangi saya, seolah-olah saya ini adalah teman lamanya yang hilang. Tentu saja itu mengganggu, terutama kalau dia sudah ikut bergabung dengan saya pada saat sedang berkumpul bersama teman-teman di kantin.

Biasanya, dia akan ikut duduk di sana dan memaksakan dirinya mengoceh panjang lebar tentang hal-hal yang membosankan (karena sering diulang). Salah satunya adalah mengatakan rencananya yang ingin memburu harta pejabat korup yang disimpan di Bank Swiss. Oh, iya, dia juga pernah bilang ingin menggali kuburan Fir’aun dan mengambil semua harta bendanya untuk modal pembangunan Indonesia.

Bagi siapa pun yang menilai rencananya itu, jangan katakan itu hanya cara dia untuk mencoba membuat lucu, melainkan dia memang harus dirukiah.

“Ternyata kamu dipanggil Amer, ya?” tanya Bono, tertawa, pada kesempatan yang lain saat dia mendatangi saya di kantin.

Iya, benar. Beberapa orang di sekolah, memang ada yang memanggil saya Amer, singkatan dari: Ancika Mehrunisa Rabu.

Mereka mengatakannya sebagai lelucon untuk mengacu pada Amer, yang dikenal oleh umum sebagai singkatan dari Anggur Merah, yaitu semacam minuman bermanfaat bagi kesehatan, yang sering disalahgunakan untuk mabuk-mabukan.

Sebetulnya tidak masalah buat saya, saya bisa bersikap biasa saja seiring dengan berkembangnya nama panggilan untuk saya itu.

“Saya memang haram!” kata saya. “Makanya jangan deket-deket saya!”

“Ha ha ha …”

“Kecuali kalau sudah dinikah …”

“Mau nikah sama Bono?” tanya Bono. Dia membuat tekanan pada nada suaranya untuk menjadi terdengar luar biasa di dunia.

“Langkahi dulu mayatku!” jawab saya.

“Kalau udah jadi mayat, mah, gak bisa dinikah, dong,” kata Bono ketawa, “Kacau, ah, kamu mah! Jawabannya suka gak masuk akal!”

Saya mengakui, sebetulnya ada beberapa hal yang lucu darinya dan juga sekaligus menyebalkan pada saat yang sama.

3

14 Februari 1995, Bono masuk ke kelas saya saat pelajaran sedang berlangsung. Semua orang serentak memandangnya. Dia datang dengan membawa kantong kresek di tangannya.

“Permisi, Pak,” kata Bono membungkuk sopan kepad Pak Yusuf yang sedang duduk di kursinya.

“Ya?” tanya Pak Yusuf dengan wajah bertanya-tanya.

“Ada titipan dari ketua OSIS buat Cika,” jawab Bono.

Saya langsung terkejut mendengarnya.

Setelah mendapat izin dari Pak Yusuf, Bono berjalan menuju bangku saya, yang ada di deretan keempat dari bangku paling depan. Saya hanya ingin tahu apa selanjutnya.

Dia berdiri di samping meja saya, kemudian mengeluarkan satu buket bunga mawar merah dari dalam kantong kresek yang dibawanya. Dia menyerahkan bunga itu sambil membungkuk dan bicara cukup pelan, “Selamat hari Valentine!” katanya.

Saya merasa tidak nyaman dan seolah-olah dia melanggar batas ruang pribadi saya. Saya tidak suka apa yang dia lakukan. Itu mengarah pada yang saya sebut seperti seseorang sedang menawarkan dagangannya dengan cara memaksa, itu saja.

“Kamu bisa menerimanya, kalau mau?”

“Enggak!” jawab saya.

Di saat yang sama, saya mendengar beberapa orang saling berbisik dan mungkin juga bertanya-tanya tentang apa yang sedang dilakukan oleh Bono.

“Kenapa?”

“Gak suka bunga!” jawab saya.

“Sukanya apa?” tanya Bono, masih dengan suara pelan.

“Gak suka apa-apa!” jawab saya dengan suara lebih keras dari yang seharusnya. Saya sengaja, berharap dengan itu Pa Yusuf akan mendengar dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Akhirnya, saya melihat Pak Yusuf bangkit dari kursinya.

“Ada apa?” tanya Pak Yusuf, sambil mulai berjalan mendekat ke arah Bono.

“Ini, Pak,” jawab saya kepada Pak Yusuf, “dia ngasih hadiah Valentine!”

Situasi tampaknya berubah menjadi buruk. Bono terlihat gelisah seperti kehilangan akal sehatnya karena ketakutan.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Pak Yusuf menegur Bono. Matanya memerah karena marah.

“Maaf, Pak,” jawab Bono dalam semacam ketakutan yang gugup.

“Gak tau waktu!”

“Ya, Pak,” jawab Bono sopan, kemudian dia pergi, di bawah pelototan mata Pak Yusuf. Semua orang bergumam pelan. Saya bisa mendengar percakapan pribadi di antara mereka.

Saya benar-benar merasa ngeri dengan apa yang sudah Bono lakukan, tetapi sebagian besar waktu itu membuat saya tertawa. Itu adalah hal paling konyol yang pernah saya alami. Bono mungkin sangat sedih karena usahanya tidak berhasil.

“Kasihan, ih,” kata Indri.

“Apa aku harus nerima cintanya?”

“Iya, sih.”

“Nih, buat kamu!” kata saya dengan suara pelan, memberikan bunga Valentine yang sudah tergeletak di atas meja.

“Ya, udah,” kata Indri, “buat aku aja.”

4

Jam istirahat tiba, saya dan Indri duduk di meja yang biasa, jauh di pojok kantin, menikmati batagor dan teh panas. Tidak terlalu banyak orang di sana saat itu.

“Sebetulnya Bono, tuh, cakep. Anak orang kaya, lagi. Sayangnya, dia tuh nakal,” kata Indri sambil berpikir.

“Kamu tahu banyak tentang Bono, ya?”

“Denger dari orang aja.”

Lalu, Indri bilang bahwa apa yang dilakukan oleh Bono tadi di kelas sangat menggemaskan. Beberapa orang tampaknya tidak akan berani melakukannya.

Oke, ya, harus saya akui, saya sangat menghargai usahanya yang berani.

“Kamu suka gak ke Bono?” tanya Indri, tersenyum.

Saya menjawab dengan mengatakan bahwa saya benar-benar tidak pernah menemukan pria yang membuat saya begitu tertarik.

“Lagian, saya gak suka pacaran,” kata saya menambahkan.

“Kenapa?” tanya Indri.

“Saya gak suka jadi milik seseorang,” kata saya.

“Egois, dong?”

“Saya lebih suka kalau tubuh saya disumbangkan untuk penelitian Sains,” jawab saya.

“Ha ha ha….”

“Lebih berguna, kan?”

“Ah, teuing, ah!”

“Pacaran tuh ribet!”

Indri tidak langsung merespons, karena sedang minum.

“Ngerepotin,” kata saya lagi.

“Iya, sih.”

“Si itu juga, siapa itu?” kata saya. “Ria, ya?”

“Ria mana?”

“Itu … yang tiap hari mesra, berdua terus ke mana-mana.”

“Oh, si Ria?”

“Kamu lihat, kan, nempel terus?”

“Iya.”

“Tau-taunya, putus. Sampai si Ria-nya diopname,” kata saya. “Cinta macam apa itu?”

“Iya, gitu?”

“Gak tau, sih. Pokoknya pacaran mah ribet. Banyak nuntut ini itu, belum tentu juga dinikahi.”

Sejujurnya, saya benar-benar belum ingin punya pacar atau pasangan. Saya hanya ingin punya anjing atau monyet. Saya hanya ingin pergi bermain perahu kano bersama teman-teman. Paling tidak hanya diam di rumah, berkumpul bersama keluarga.

Saya tidak terlalu suka dengan ide pacaran. Saya lebih ingin fokus pada sekolah dan meraih cita-cita yang saya inginkan. Setidaknya, saya harus fokus belajar untuk siap menghadapi ujian EBTANAS, atau mengerjakan pekerjaan rumah yang banyak setiap hari. Sekolah, bagi saya, jauh lebih penting daripada pacaran.

Lagi pula saya masih ingin bisa bepergian dan melakukan apa pun yang saya suka. Dan semua itu tidak akan bisa dicapai kalau saya harus mempertimbangkan orang lain, terlebih lagi kalau orang itu merepotkan dan cemburuan. Jadi itulah, bagi saya, kemerdekaan lebih menarik. Pokoknya saya tidak suka terikat. Saya tidak suka merasa menjadi bagian dari seseorang.

Saya masih ingin mendapatkan tempat dalam hidup di mana saya bisa menetapkan standar hidup saya sendiri. Tidak perlu lapor kepada pacar kalau mau tidur. Tidak perlu lapor kepada pacar kalau mau shalat (itu malah jadi riya). Tidak perlu lapor kepada pacar kalau mau bepergian, tidak perlu menyesuaikan perilaku saya agar sesuai dengan keinginan pacar. Tidak akan ada yang menilai saya, kecuali saya sendiri. Tidak akan ada yang kecewa, kecuali saya sendiri. Itu akan terasa bebas dan ringan jadinya.

“Kamu sendiri kenapa gak pacaran?” tanya saya kepada Indri.

“Kalau saya tuh bimbang, euy.”

“Bimbang apa?”

“Bimbang antara sayanya mau ke si Dudi, dengan si Dudi-nya yang enggak mau ke saya!”

“Ha ha ha!”

Dudi yang dimaksud oleh Indri adalah Ketua OSIS. Indri sering bilang kepada saya bahwa dia naksir Dudi, tapi Indri tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kenyataannya Dudi lebih memilih Nyanya, gadis berambut model shaggy bob sebahu dan pernah menjadi model sampul majalah remaja.

“Kalau kata saya, mah, kamu dan si Dudi itu, mau sama mau!” kata saya kepada Indri.

“Ngarang!”

“Iya, kamu mau ke si Dudi, si Dudi mau muntah! Ha ha ha!”

“Gelo, siah (Gila, kamu)!”

Tidak lama kemudian, datang Santika, Devi, dan Rika bergabung dengan kami. Mereka semua adalah kawan-kawan satu kelas dengan saya.

“Tadi si Bono ngapain, sih?” tanya Rika.

Jual bunga!” jawab saya, cepat.

“Nyatain, ya?” tanya Devi.

“Unik, ih!” kata Santika.

“Unik apa?” tanya saya.

“Unik aja,” jawab Santika. “Ngasih kado di kelas, gitu, loh, pas belajar! Mana ada yang gitu?!”

“Itu, mah, mengganggu!” kata saya, “Cewek beloon yang bilang itu unik!”

“Makanya, tadi tuh, si Bono harusnya ngasih ke kamu!” kata Indri ke Santika, “pasti sama kamu mah diterima!”

“Enggak, lah,” jawab Santika. “Aku udah punya!”

“Pacar?”

“Bunga,” jawab Santika ketawa, “banyak di depan rumah!”

Itulah yang terjadi. Saya tidak mengerti mengapa Bono menyukai saya, padahal menurut saya, ada begitu banyak gadis menarik di luar sana. Apakah ada yang salah dengan matanya? Perlu banyak minum jus wortel, sepertinya.

2. Bertemu Dilan

1

Biar bagaimana pun itulah saya, manusia biasa yang lahir dan dibesarkan di sebuah daerah pinggiran kota Bandung pada zaman pemerintahan orde baru. Saya tumbuh di sana, dan memiliki hari-hari biasa saja. Beberapa hal yang bisa saya ingat di antaranya adalah belajar, sarapan, pergi ke sekolah, les, nonton televisi, makan malam, dan tidur. Saat itu belum ada internet, belum ada komputer, smartphone, atau media digital lainnya

Saya benar-benar harus pergi ke perpustakaan untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan. Saya membaca surat kabar untuk mencari berita. Saya membaca majalah untuk mendapat berbagai informasi. Saya harus pergi ke studio foto untuk mencetak foto agar bisa dilihat, kemudian menempelnya di dalam album foto.

Belum ada kamera digital yang memungkinkan saya melakukan selfie, sebagaimana yang bisa dilakukan sekarang. Saya tidak bisa menguntit seseorang secara diam-diam melalui media sosial. Saya menulis surat untuk menyampaikan apa yang ingin saya katakan kepada seseorang di tempat yang jauh. Saya harus benar-benar menelepon orang dengan menggunakan telepon rumah atau telepon umum.

Begitulah saya, hidup sebagai seorang remaja di masa itu. Hampir seperti tidak layak untuk dijalani. Selamat untuk kamu, sekarang keadaan sudah berubah. Bandung juga tak lagi seperti dulu. Bandung masa itu masih memiliki udara sejuk terbaik yang pernah ada. Lalu lintasnya juga masih sedikit, hanya saja memang banyak galian kabel di mana-mana.

Sawah-sawah belum berubah menjadi kompleks perumahan. Saya masih bisa melihat pemandangan gunung di kejauhan. Saya masih bisa melihat rumah-rumah tua di Dago dan juga di daerah Cipaganti yang belum berubah menjadi toko atau factory outlet. Ya, saya bisa menghargai perubahan yang telah terjadi meskipun saya tidak ingin ada yang berbeda.

Dulu, mall juga masih sedikit, sepertinya cuma ada Palaguna, Bandung Indah Plaza, dan Parahyangan Plaza. Anak-anak sekolah dengan mentalitas santai, biasanya pada nongkrong di sana. Sebagian lagi memilih main dingdong dan itu masih lazim di era saya, kemudian mereka dirazia karena dilarang main dingdong memakai seragam sekolah.

Meskipun saat itu sudah banyak gedung bioskop, dan ada di mana-mana, saya jarang pergi ke bioskop dan lebih memilih untuk menyewa kaset video Beta di IBC, tepatnya di daerah Jalan Bahureksa.

Saya pikir itu lebih efisien, karena dengan menonton film di rumah, saya dapat menghentikan film di saat saya harus pergi dulu ke kamar mandi, atau apa pun yang saya inginkan, dan saya bisa memutar ulang kalau misalnya ada adegan yang menarik.

Saya masih ingat, dulu, pernah menyewa film The Legend of Condor Heroes dan ditonton bersama keluarga pada waktu tertentu. (Asal tahu saja, orangtua saya tidak terlalu khawatir tentang film apa yang saya tonton.)

Itu adalah saat saya merasa senang menghabiskan waktu dengan keluarga. Mungkin karena saya berasal dari keluarga yang cukup dekat, jadi kami biasanya menghabiskan hampir setiap akhir pekan bersama-sama.

Di setiap malam Minggu, saya sering tidak pernah tahu harus ke mana. Hanya tiduran di kamar daripada yang saya inginkan. Atau, mengerjakan hal-hal lain seperti membaca buku sambil mendengarkan lagu-lagu yang diudarakan oleh radio, meskipun saya tahu sebenarnya saya ingin menjelajahi dunia dan melakukan sesuatu yang lebih dari itu.

Di hari Minggu, kadang-kadang saya joging atau berkumpul bersama kawan-kawan di salah satu tempat nongkrong yang ada di Bandung. Dulu, memang belum ada banyak kafe, tapi untuk yang suka makan bakso, bisa datang ke Jalan Kejaksaan, atau di belakang Dian Theatre, yaitu di daerah Jalan Balong Gede. Untuk yang mau hot dog, bisa mampir ke Gelael di Jalan Ir. Haji Djuanda yang sekarang sudah tak ada. Sedangkan untuk yang suka serem-serem, silakan datang ke Rumah Mummy atau ke Rumah Ambulans di Jalan Bahureksa. Mungkin ada di antara kamu yang ingin kenalan dengan waria, kamu bisa datang malam-malam ke daerah Taman Maluku.

Untuk kamu yang suka dugem dan ke diskotek, dulu ada Fame Stasion di Lippo Tower daerah Simpang Lima, Studio East di Jalan Cihampelas, atau ke Lipstick Disco Skate.

Di dalam banyak hal, saya menghargai orang yang datang ke sana, tetapi sayangnya itu bukan dunia saya. Lagi pula, saya tidak suka keluar malam.

2

Pada bulan Juni 1995, saya ikut bimbingan belajar (bimbel) di daerah Jalan Dipatiukur, jaraknya kira-kira setengah jam perjalanan dengan menggunakan mobil angkot dari sekolah. Jadwal belajarnya ditentukan setiap hari Rabu dan Sabtu, yang dimulai dari pukul 15:00 sampai 17:00 WIB.

Di sana, saya mulai mengenal Bagas, Ipul, dan Iksan.

Mereka sering terlihat bertiga. Datang ke tempat bimbel, bertiga. Pulangnya juga bertiga, biasanya menggunakan mobil Charade milik Bagas. Saya baru tahu kemudian, ternyata kebertigaan mereka didasarkan oleh karena mereka sekolah di tempat yang sama, yaitu di salah satu SMA negeri yang ada di daerah Buah batu.

Beberapa bulan kemudian, saya menjadi akrab dengan mereka dan melakukan hal-hal normal sebagaimana umumnya anak SMA. Kami berada di kelas yang sama dan sering belajar bersama. Sesekali, kami juga pergi ke acara try out bersama dan nongkrong di kantin bimbel, membicarakan apa saja.

Bagas tampan, sebetulnya tidak terlalu, sih, mungkin hanya sedikit. Dia adalah anak seorang pengusaha terkemuka yang memiliki perusahaan besar dan beberapa rumah kontrakan untuk mahasiswa di daerah Buahbatu. Ibunya seorang penyanyi lagu-lagu bahasa Sunda yang cukup terkenal di Jawa Barat.

Iksan memiliki mata sayu, tapi mampu melakukan penelitian lingkungan untuk memastikan bahwa dia aman. Maksud saya, itu di luar kemampuannya mengoceh. Ayahnya salah satu karyawan yang bekerja di perusahaan ayahnya Bagas. Saat itu, kalau tidak salah, Iksan tinggal di daerah Karapitan.

Sedangkan Ipul, cenderung diam, seperti selalu mempersiapkan dirinya untuk mendapat ilham setiap hari. Ibunya seorang guru yang mengajar di salah satu SMP yang ada di Kota Bandung.

Jadi, ceritanya, mereka itu adalah manusia yang tergila-gila pada salah satu artis tertentu yang cukup populer di tahun 90-an. Mereka benar-benar akan datang untuk menemui idolanya yang akan diwawancarai oleh salah satu radio yang ada di Kota Bandung. Itu akan menjadi sangat keren bagi mereka karena bisa bertemu dengan idola.

Itu nyata bahwa mereka akan berteriak senang karena berhasil mendapatkan tanda tangan idolanya. Saya belum pernah memiliki teman seperti mereka sebelumnya, kadang-kadang saya berpikir bahwa kami mungkin lucu bisa bersama, karena saya sendiri bukan tipe orang yang menggemari siapa pun secara fanatik.

“Kamu tuh asli Bandung, ya?” tanya Iksan kepada saya sore itu di tempat bimbel. Saya melihat butir-butir keringat kecil di bawah lubang hidungnya. Dia menyekanya dengan saputangan, yang dia selipkan kembali di saku bajunya.

“Iya,” jawab saya, “Papa asli Bandung. Mama juga, tapi kalau Mama ada darah Sumedang-nya.”

“Ican pikir, kamu orang mana ….”

Iksan menyebut dirinya Ican. Dan, kamu harus tahu, terlepas dirinya sebagai seorang laki-laki, Iksan memiliki perilaku yang sama seperti perempuan. Perilakunya kemayu seperti yang saya lihat.

“Tau, gak,” kata Iksan lagi, “pertama lihat kamu, takut Ican mah.”

“Kenapa?” tanya saya.

“Judes!” jawab Iksan langsung, tidak bisa mengontrol mulutnya.

“Ya, saya emang gitu. Saya tuh, ya, tidur juga judes, mandi juga judes!”

Bagas, Iksan, dan Ipul tertawa, dan saya benar-benar menyuruh mereka untuk tenang. Saya memang biasanya berjalan dengan ekspresi wajah acuh tak acuh dan beberapa orang bisa mengartikannya sebagai saya sedang marah, tapi sebetulnya tidak begitu.

“Pas udah kenal mah, jadi manis,” kata Iksan sambil tersenyum, kemudian melirik ke arah Bagas, “Iya, gak, Gas?”

“Makanya jangan asal nilai,” jawab Bagas pelan, seolah-olah dia tidak mengatakan apa-apa.

Sorenya, setelah bubaran kelas, cuaca mulai memburuk. Langit memang selalu gelap selama beberapa hari itu, orang-orang bersikap biasa saja, seolah-olah semuanya normal. Tapi, Bagas merasa seolah-olah tidak.

“Kamu pulang naik angkot?” tanya Bagas. Dia tampak khawatir, emosi yang sangat tidak pada tempatnya untuk situasi seperti itu, menurut saya.

“Iya kayaknya,” jawab saya. “Kenapa?”

“Mau hujan. Gelap gini.”

“Gak apa-apa.”

Saya pasti mengatakannya begitu, karena saya sudah cukup sering pulang naik angkot dengan awan yang gelap atau hujan yang besar.

“Dianter aja.”

“Gak usah,” jawab saya tanpa ragu sedikitpun.

“Daerah Ciwastra, kan?”

“Iya.”

Bagas terus mencoba untuk mengantar saya pulang.Saat akhirnya saya setuju, saya pulang bersama Bagas tetapi tidak berdua, melainkan ditemani oleh Ipul dan Iksan yang duduk di bangku belakang.

Di mobil, untuk mengisi keheningan, kami saling bicara, membahas tentang segala macam hal yang tidak berguna, entah itu tentang kegiatan sekolah, atau membahas berita dan hobi. Saat itu Bagas bercerita tentang dirinya yang punya minat besar pada musik.

Katanya, dia punya grup band yang sudah berkembang cukup baik. Setiap Sabtu malam dan kadang-kadang di hari Minggu, band Bagas suka tampil di berbagai acara, termasuk di kafe atau acara pernikahan.

“TKW, dong?” tanya saya.

“TKW tuh apa?” tanya Bagas.

“Tenaga Kerja Wedding.”

“Ha ha ha. Iya.”

“Ngatur waktunya gimana?” tanya saya. “Kan, kamu harus sekolah?”

“Ada manajer.”

“Bagas main apa?”

“Bagas megang gitar.”

“Kali-kali Cika nonton, deh, kalau Band Bagas manggung,” kata Iksan. “Bagus, loh!”

“Insya Allah.”

Dalam waktu kurang dari satu jam, akhirnya kami sampai di rumah saya, di sebuah Kompleks Perumahan Margahayu Raya. Lokasinya kira-kira lima ratus meter dari Jalan Raya Ciwastra.

3

Setelah selesai mandi, saya merasa benar-benar segar. Saya pergi ke dapur dengan mengenakan kemeja kotak-kotak longgar dan membuat secangkir teh untuk saya sendiri.

“Besok Abah ulang tahun, Teh,” kata Mama, saat bertemu dengannya di dapur.

“Oh, iya, ya! Masya Allah, lupa.”

“Tadi pagi, Mama udah ke Abah.”

“Besok, pulang sekolah, Teteh ke rumah Abah, ah,” kata saya sambil berpikir.

“Iya.”

Abah yang dimaksud oleh Mama, adalah kakek saya, atau Ayah dari Mama saya. Dia tinggal bersama Emak di daerah Batununggal, Bandung. Saya jarang main ke rumah Abah, hanya sesekali, pada waktu-waktu yang tidak teratur.

Abah dan Emak punya tiga orang anak dan Mama merupakan anak sulungnya. Anak keduanya adalah Mang Dadi. Dia sudah berkeluarga, memiliki anak dua dan tinggal di daerah Cijerah. Sedangkan orang yang saya panggil Mang Anwar adalah anak bungsu dari Abah. Saat itu Mang Anwar masih kuliah di salah satu perguruan tinggi yang ada di daerah Tamansari.

Mang Anwar sudah tinggal di rumah saya dari semenjak masih SMP. Kamarnya berada di lantai atas, berdampingan dengan kamar Beni, adik saya satu-satunya, yang saat itu masih kelas tiga SMP.

Saya kembali ke kamar bersama secangkir teh panas, memutar lagu Losing My Religion dari R.E.M, menggunakan tape recorder yang ada di meja belajar. Kualitas situasi yang menyenangkan melekat kepada diri saya saat saya membaca buku di tempat tidur yang nyaman. Sayangnya, Bagas menelepon. Dia mengajak saya main ke Cikapundung bersama Iksan dan Ipul juga.

Tentu saja, itu ajakan menarik, karena saya suka buku. Apalagi, kalau membeli bukunya di Pasar Buku Cikapundung. Di sana, begitu banyak lapak yang menjual buku-buku bekas. Sebagian besar adalah buku-buku impor dan berkualitas. Majalah bekas juga ada, kaset bekas juga ada, majalah dewasa juga ada, kartu remi bergambar wanita bugil juga ada, termasuk novel esek-esek.

Memang tidak selalu merupakan hal baik, tetapi sebagian besar mengagumkan. Anak-anak muda mesum akan berterima kasih atas jasanya. Tapi khusus barang-barang seperti itu, tidak dijual secara sembarangan, karena kalau ketahuan bisa ditangkap oleh polisi.

Jarak dari rumah saya ke Cikapundung kira-kira satu jam perjalanan dengan menggunakan angkot di masa itu. Lokasinya tidak jauh dari Alun-alun Kota Bandung.

“Mau ikut, gak?” ajak Bagas.

“Kenapa tadi gak bilang di mobil?”

“Baru kepikiran pas udah pulang.”

“Kapan emang?”

“Besok, sepulang sekolah, yuk!”

“Besok?” Saya tidak yakin bisa ikut, “Saya mau ke rumah kakek saya, euy.”

“Ke Cikapundung-nya, setelah dari rumah kakekmu aja.”

“Ketemuan di Cikapundung?” tanya saya.

“Bagas jemput, deh, ke sekolah,” jawab Bagas, “Gimana?”

“Gimana kalau ketemuan di Trina?”

“Trina?”

Trina yang saya maksud adalah satu-satunya Toserba yang ada di Buahbatu saat itu. Lokasinya tidak jauh dari kampus ASTI atau yang sekarang dikenal sebagai ISBI.

“Saya mau beli kado dulu buat kakek,” kata saya.

“Oke. Jam berapa dijemput?”

“Jam … satu kayaknya.”

“Sip.”

4

Keesokan harinya, setelah selesai belanja di Trina, kami pergi ke rumah Abah. Rumahnya kecil, tetapi halamannya seluas dua lapangan voli dan itu adalah sesuatu yang saya sukai. Ini bukan hanya tentang banyaknya tanaman dan bunga, tapi saya, dulu, merasa senang bisa duduk sendirian di sana, menjadi seperti gadis paling melamun, yang tidak terpengaruh oleh waktu dan menyaksikan dunia berlalu begitu saja bersama aroma bunga yang melayang di halaman. Atau, kumpul bersama keluarga besar Abah, menikmati barbeque dan sate pada setiap hari raya Iduladha.

Halaman depannya mencakup dua area tempat duduk: satu area ada di sebelah kiri halaman, yaitu tepat di bawah pohon kersen. Satu area lagi berada di sebelah kanan yang dipenuhi dengan tanaman rendah. Ada bangku kayu lain yang sengaja ditempatkan di beberapa sudut pekarangan, agar kalau keluarga besar Abah datang, semua orang bisa kebagian tempat duduk.

Mobil Bagas berhenti di pinggir jalan, di antara empat motor yang sudah parkir di sana, entah punya siapa. Saya masuk ke halaman rumah Abah dengan membiarkan pintu pagar terbuka untuk Bagas, Ipul, dan Iksan masuk. Begitu kami memasuki halaman rumah Abah, saya melihat ada tiga orang yang sedang duduk di kursi rotan, di bawah naungan pohon kersen.

Mereka hanya duduk di sana sambil mengobrol dan tertawa, tampak terlihat gembira. Saya sama sekali tidak mengenalnya dan rasanya saya belum pernah bertemu. Kalau saya harus menebak, sepertinya mereka seumuran dengan Mang Anwar.

Beberapa saat kemudian, saya melihat Mang Anwar. Dia baru saja keluar dari rumah Abah dan berjalan ke arah saya.

“Abah mana?” tanya saya, setelah berdiri berhadapan dengan Mang Anwar.

“Ada,” jawab Mang Anwar, “lagi tiduran.”

Saya memperkenalkan Bagas, Iksan, dan Ipul kepada Mang Anwar. Karena merasa tidak akan berlama-lama di rumah Abah, saya meminta Bagas, Iksan, dan Ipul, untuk duduk menunggu di bangku kayu yang ada di area sebelah kanan halaman, kira-kira tujuh meter jaraknya dari tempat berkumpulnya orang-orang yang sedang duduk di bawah pohon kersen itu.

“Tunggu, ya,” kata saya kepada Bagas, Iksan, dan Ipul sambil mulai berjalan bersama Mang Anwar menyusuri jalan setapak menuju rumah Abah.

“Itu siapa?” tanya saya berbisik.

Saya merasa tidak bisa menahan diri untuk bertanya tentang orang-orang yang duduk di bawah pohon kersen.

“Temen Mang Anwar.”

“Ngapain?” tanya saya pelan sambil membuang permen karet, yang sedari tadi saya kunyah, ke tempat sampah di dekat tiang rumah Abah.

“Main aja,” jawab Mang Anwar. “Nongkrong biasa.”

“Oh.”

Setelah membuka sepatu, saya dan Mang Anwar masuk ke rumah Abah, yang dibangun dari bata merah. Ada warna biru yang tidak rapi di bagian bawah temboknya, sedangkan hampir semua kusennya diberi warna cokelat.

Rumah itu sunyi dan selalu begitu sejak anak-anak Abah memiliki keluarga sendiri. Tirai hijau tampak menggantung di atas pintu dan juga di jendela ruang tamu. Kamar depan yang berdampingan dengan ruang tamu adalah kamar yang dulu dipakai oleh Mama sebelum dia menikah.

Dengan sangat tenang, saya berjalan melewati ruang tamu untuk memastikan segala sesuatunya tetap rapi dan teratur seperti biasanya. Saya melangkah maju ke bagian ruang tengah yang mengarah ke kamar Abah, kamar bekas Mang Dadi, dapur, dan kamar mandi.

Saya menyapa Emak yang sedang sibuk memasak di antara rak dinding dapur dan lantai berwarna abu-abu. Luasnya cukup untuk memasak dan juga untuk makan. Saya mencium aroma bawang putih yang menyengat dari sana.

Ketika saya masuk ke kamar Abah, dengan gorden pintu kamar yang diikat ke belakang, saya melihat Abah sedang rebahan di kasur. Melihat saya datang, Abah bangkit, “Teh,” katanya, begitu santai, lalu meraih kemeja yang tergantung di atas sebuah bufet kecil yang berisi beberapa barang pribadinya.

Saya bisa melihat kerutan di bawah matanya, juga garis-garis di dahinya. Saya masih bisa mengingat saat ketika garis-garis kerutan itu belum ada. Seiring bertambahnya usia, rambutnya juga tidak lagi banyak seperti dulu, tapi senyumnya tetap sama, tetap cerah dan masih terlihat cukup gagah meskipun hanya memakai kaus dalam dan celana training.

Abah duduk di kursi kayu, sambil mengenakan kemeja lalu membuka tutup mug yang ada di atas meja. Dia minum seperti untuk sedikit membuat dirinya tenang. Agak kurang sehat, katanya. Dan rematik di bahu kanannya sering kambuh.

Saya segera duduk di kursi yang ada di sebelahnya, yaitu setelah saya mencium tangannya. Sementara Mang Anwar duduk di tepi tempat tidur Abah.

“Teteh sendiri ke sini?”

“Sama temen-temen, Bah.”

“Sama Dilan?” tanya Abah menatap Mang Anwar.

“Bukan, Bah,” jawab Mang Anwar. “Beda lagi.”

“Dilan?” tanya saya heran kepada Mang Anwar.

“Itu, temen Mang Anwar yang tadi di sana,” Mang Anwar menjelaskan.

“Oh.”

Saya melihat, hari itu, sepertinya Abah senang mendapat hadiah sweter warna putih dan juga doa dari saya, meskipun baginya ulang tahun bukanlah hal yang terlalu dia hiraukan. Abah menyeka matanya yang basah dengan punggung tangannya. Kemudian, Abah mencium kening saya.

Emak muncul, bergabung dengan kami, dan bisa mendengar Abah bicara, “Abah doain, Teteh panjang umur. Sehat terus. Banyak rezekinya. Juga sukses mencapai cita-cita,” suaranya dalam dan begitu serius.

Setelah makan satu biskuit dan membuat banyak percakapan, saya pamit pulang, sementara Mang Anwar bergegas pergi ke toilet dengan jalan berjingkat-jingkat.

5

Saya keluar dari rumah Abah, dan duduk membungkuk untuk memakai sepatu di teras, sambil mengarahkan pandangan ke sekitar halaman, dan melihat sekilas kawan-kawan saya yang sedang menunggu.

Saya melihat Bagas, Ipul, dan Iksan masih tetap duduk di tempat yang tadi, tampak sedang bercakap-cakap dengan orang-orang yang duduk di bawah pohon kersen. Apa yang mereka bicarakan? Mereka terlalu jauh sehingga saya tidak bisa mendengar kata-kata mereka dengan jelas.

Setelah selesai memakai sepatu, saya memakan permen karet, dan siap untuk berangkat ke Cikapundung. Saya melihat Bagas, Ipul, dan Iksan serentak berdiri dari duduknya ketika melihat saya berjalan untuk mendekat.

“Yuk!” ajak saya antusias kepada Bagas, Iksan, dan Ipul sesaat setelah saya bergabung dengan mereka, di mana sebelumnya saya sempat beradu pandang dengan orang-orang yang ada di bawah pohon kersen dan tersenyum untuk mereka. Saya berpikir, betapa anehnya, saya hanya merasa harus ramah. Itu saja. Mereka juga tersenyum.

Baru saja kami akan melangkah pergi, tiba-tiba terdengar suara dari salah satu orang yang sedang duduk di bawah pohon kersen, “Kak, sebentar!”

Kami berhenti, lalu menoleh ke arah mereka.

“Kita belum kenalan, nih …,” kata orang yang mengenakan jaket US Army, masih tetap duduk di kursinya, di antara kedua temannya yang senyum-senyum sendiri. Saya, Bagas, Ipul, dan Iksan saling berbagi ekspresi bingung.

“Kamu namanya siapa?” tanya orang itu kemudian.

“Siapa, Kang?” tanya Ipul yang berdiri di samping saya, dan seharusnya dia tidak perlu segugup itu.

“Iya, kamu,” kata orang itu.

“Ipul, Kang,” jawab Ipul langsung.

“Kalau kamu, yang pake rompi, siapa namanya?” tanya orang itu lagi.

“Iksan, Kang,” jawab Iksan dalam semacam ketakutan yang gugup.

“Kamu?” tanya orang itu lagi memandang ke arah Bagas.

“Bagas, Kang,” jawab Bagas.

Ada apa dengan orang ini?

Oke. Saya mengerti kadang-kadang normal kalau ada orang yang ingin mengetahui nama seseorang. Itu biasa terjadi, dalam wawancara kerja, misalnya. Tapi, tujuan dia untuk apa?

Saya mulai berpikir dia juga pasti akan menanyakan nama saya.

“Bagas berani gak melawan Advent Bangun?” tanya orang itu.

Jadi ya, cukup jelas dia tidak ingin tahu nama saya.

“Enggak, Kang,” jawab Bagas tanpa nada.

Advent Bangun yang dimaksud adalah aktor film laga berbadan sterek, yang sangat populer di tahun 80-an. Dan, saya merasa bahwa ini bukanlah sesuatu yang penting yang harus dibicarakan. Naluri saya langsung tahu bahwa dia hanya ingin menjadikan kami sebagai sasaran lelucon. Saya kesal karenanya.

“Ah, payah, nih!” katanya, seperti benar-benar mengeluh. Salah satu temannya tertawa. Orang itu memandang kami dan tersenyum tidak masuk akal dengan cara yang menjengkelkan yang dimaksudkan untuk membuat kami terlihat seperti orang bodoh.

Saya mendengus, menatap orang itu sambil sesekali meletuskan gelembung permen karet di mulut. Dia tampak sedikit tidak nyaman, lalu menyimpan kedua tangannya di bagian belakang kepalanya dan saya tidak suka ketika dia tersenyum lagi. Saya tidak ingin melihatnya. Saya ingin cepat-cepat pergi meninggalkan situasi yang tidak sehat itu.

“Yuk!” kata saya kemudian, mengajak Bagas, Iksan, dan Ipul untuk pergi.

“Bentar, Kak!” teriak orang itu lagi, sebelum kami benar-benar pergi.

Saya agak mengabaikan itu pada awalnya, dan memutuskan terus berjalan, tetapi orang itu terus memanggil, dan saya merasa terganggu. Lagi pula, saya tidak suka dipanggil: Kakak. Itu terdengar kurang ajar. Saya merasa diolok-olok dan menjadi kesal, lalu berbalik dan berjalan agak mendekat ke arahnya. Sementara Ipul, Iksan, dan Bagas tetap diam di tempatnya.


“Ada apa?” tanya saya geram sambil berkacak pinggang, kira-kira berjarak satu meter darinya.

Dia hanya mengangkat bahu, lalu tersenyum kecil dan bertanya, “Kalau kakak namanya siapa?”

“Gak punya nama!!!” jawab saya langsung.

“Masa?” katanya, dengan pose yang dipaksakan. “Bagaimana manggilnya?”

Saya benar-benar tidak mau menjawabnya, saya hanya menatapanya dengan tajam dan ingin memukul orang itu.

“Aku senang bisa melihatmu,” katanya kemudian.

Dia pasti berpikir saya suka berdialog dengannya. Tentu tidak. Gak kelas! Satu-satunya yang ingin saya lakukan adalah melabraknya, tapi saya masih bisa menahan diri. Saya benar-benar memiliki keberanian untuk melakukannya. Tapi saya tidak mau memperburuk keadaan, terutama mengetahui dia adalah kawan Mang Anwar.

Jadi, itu sudah cukup. Saya tidak mau berlama-lama dengan orang yang tidak jelas macam dia. Saya berbalik dan pergi.

Tapi orang itu terus saja memanggil, “Kakak! Kakak!” dengan nada seperti yang saya dengar dalam film-film China.

Saya benar-benar sudah tidak mau menanggapinya. Itu sudah berakhir. Saya tidak ingin menghabiskan energi untuk hal yang tidak penting. Saya bahkan tidak tahu namanya. Dan juga tidak mau tahu!

Di dalam mobil, saya mendapat beberapa informasi singkat dari Bagas, Ipul, dan Iksan bahwa orang yang memakai jaket US Army itu adalah alumni dari sekolah mereka. Namanya Dilan.

Kemudian, saya juga mendengar kutipan tentang bagaimana Dilan dulu menjadi anak nakal di masa sekolahnya, dan katanya Dilan dikenal sebagai Panglima Tempur di geng motornya.

–ooo–

mirror dari blogspot Pidi Baiq

Leave a Comment